Mr.Chu (Chapter 11)

1459525133534.jpg

Mr. Chu

by tyavi

|CANON|

[Soloist] Shannon Williams and [iKON] Jung Chanwoo

Other cast find it by yourself

Romance, Fluff, School life | Chaptered | PG-17 (for kissing)

Disclaimer : Terinspirasi dari manga, MV Shannon – Why Why, dan lirik lagu Mr. Chu – Apink. Selebihnya berasal dari imajinasi tyavi sendiri. Maaf bila ada kesamaan cerita yang tidak disengaja.

Warning : Disini tokoh sangat OOC atau Out Of Character, disesuaikan dengan pemikiran tyavi, terutama karakter Jung Chanwoo.

It’s not about the cast, it’s about the story.

Previous :

1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 | 9 | 10

::

“Baiklah, aku mau menjadi pacar pura-puramu…tetapi dengan satu syarat

…cium aku sehari satu kali.”

::

.

.

.

 

Lembut…

Sesuatu yang lembut menyentuh bibirku…

Menyalurkan kehangatan ke seluruh inci tubuhku, lantas…

…menjalar sampai ke dadaku. Menimbulkan dentuman aneh.

Dentuman yang sudah biasa kualami, namun entah kenapa kali ini rasanya berbeda.

Mengapa rasanya seperti ini adalah kali pertama aku merasakannya?

Pagutan kami terlepas. Hatiku berubah kebas dan kesadaranku terampas.

“Jadi pacarku, ya?”

.

.

.

———- Mr.Chu chapter 11 ———-

.

.

.

KRINGG…KRINGGG…KRINGG

.

.

.

DUKK….BRAKKK…BUGH

“AAKKHHH APPOOOO!!!”

Terjerembab, tanganku terangkat mengelus kepalaku. Ah, bermimpi apa aku tadi.

“Apa?? Di mana ini???!” Ku usap mataku berkali-kali untuk memastikan apa yang kulihat. Memperjelas bayangan interior bernuansa biru lembut yang tertangkap retinaku. Sebelum akhirnya merasa familiar dengan perabot pun wallpaper yang terpasang.

“Ah, bodoh! Ini kan kamarmu.”

Dan sepersekian sekon kemudian aku memukul kepalaku. Menyebabkan rasa nyeri mendera kepalaku karena aku dengan bodohnya telah memukul kepalaku yang baru saja beradu dengan lantai. Tapi bukan hal itu yang mencuri atensiku sepenuhnya karena kini benakku kembali melayang pada bunga tidurku beberapa saat yang lalu.

Aneh sekali, kenapa tiba-tiba aku bermimpi Chanwoo menciumku dan…MEMINTAKU JADI PACARNYA?

Jadi itu semua hanya mimpi? Aish, apakah aku sudah gila?? Apa karena status pura-pura berkepanjangan ini sehingga aku bermimpi Chanwoo menembakku? Apa—

Ugh, rasanya aku ingin menangis saat ini.

Bodoh!

Drrrttt…drrttt…

Shannon bodoh!

Drrrttt…drttt…

Shannon Williams pabo!! Stupid!!!

Drrrttttt…

“AISH, TIDAK BISAKAH PONSELKU DIAM—oh, ada panggilan!”

Lekas kuamit benda persegi panjang yang terus bergetar itu dari atas nakas.

Yeobseyo.”

YA! KAU INI TIDUR ATAU MATI? MEMANGNYA KAU TIDAK SEKOLAH, HAH? AKU SUDAH LUMUTAN MENUNGGUMU DI DEPAN GERBANG!”

“Jung Chanwoo?”

“Cepat turun! Kutunggu lima menit!!”

Pip.

Tunggu. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa Chanwoo menjemputku? Apa jangan-jangan…

SEMALAM ITU BUKAN MIMPI?!

Oh, iya. Semalam ‘kan aku demam.

Dengan langkah tergesa, aku keluar dari kamar dan bergegas menuruni tangga menuju dapur. Menemukan seorang wanita yang sangat kukenal tengah memasak sarapan kesukaanku.

Eomma! Apa tadi malam Shannon demam?”

Eomma yang terkejut dengan kedatanganku, menghentikan kegiatan memasaknya dan berbalik.

“Iya, Shannon-a. Tadi malam kau—

“Apa Chanwoo yang mengantarku pulang?”

“Iya, Chanwoo yang mengantarmu. Dia bahkan—

God! Shannon terlambat!!”

Tanpa mendengar penjelasan Eomma, aku kembali berlari menaiki tangga. Kini kamar mandi adalah destinasiku selanjutnya.

“Jangan buru-buru Shan!” terdengar teriakan Eomma memperingatkanku.

“Tapi Chanwoo sudah menunggu di luar!!”

“APA??! KENAPA KAMU TIDAK BILANG DARITADI???”

 

 

***

 

 

Setelah melewati gerbang sekolah, Chanwoo membelokkan motornya memasuki parkiran. Sepersekian sekon berikutnya asumsiku terbukti. Aku sudah merasa ganjil kala hawa dingin melingkupi tubuhku saat kami berangkat mengendarai motor. Dan sekarang? Parkiran sekolah dalam keadaan kosong melompong. Jangan-jangan aku dan Chanwoo lupa kalau hari ini sekolah diliburkan. Bisa saja ‘kan?

Turun dari motor, aku melepas helm putih yang kugunakan. “Kenapa sepi sekali? Apakah kita kepagian?”

Chanwoo yang juga baru melepas helmnya, beralih mengamati jam tangannya.

Yep, masih jam setengah tujuh.”

W-what?! Kupikir aku sudah terlambat.”

“Kau terlambat membukakan pintu untukku, Nona,” ujar Chanwoo dengan nada menyindir. Siapa lagi? Itu pasti karena aku—tepatnya Eomma, sih—baru menyuruhnya masuk saat aku mandi. Tapi itu bukan sepenuhnya salahku ‘kan? Aku tidak tahu dia ada di sana.

“Setengah jam berada di luar, aku hampir mati kedinginan, tahu!”

“Siapa suruh kau di sana?” balasku cuek seraya menyerahkan helmku pada Chanwoo.

“Memangnya aku tidak boleh berangkat bersama pacarku?”

Tepat setelah Chanwoo menunjukkan wajah merajuk—yang membuatku ingin mencubit pipi chubbynya—dia mengenggam tanganku.

Damn, Jung Chanwoo! Kau memang selalu sukses membuatku tersipu—membuatku malu sih tepatnya.

“Lagipula, bukannya bagus kalau kita kepagian?”

Manikku dapat menangkap jelas paras Chanwoo mengulas senyuman khas, ralat, senyum menyebalkan tepatnya. Sial! Sepertinya Chanwoo akan membuatku malu lagi.

“Sekolah masih sepi dan…”

Tuh ‘kan aku tidak bohong! Karena kini Chanwoo memajukkan wajahnya. Lantas mengecup singkat pipiku. Oh, mungkin aku berlebihan tapi rasanya seperti pasokan oksigen telah menipis di dalam paru-paruku. Ya, sedahsyat itulah efek setiap perlakuan Chanwoo kepadaku, dan tidak berkurang sedikit pun kendati kini kami telah resmi berpacaran.

“Demammu sudah turun.”

Sekarang runguku dapat mendengar jelas kekehan Chanwoo menertawakan rona merah yang telah menyembul di kedua pipiku. Ugh, dasar Jung Chan—ah sudahlah. Agaknya aku akan mengumpat nama Chanwoo berjuta-juta kali karena perlakuan manisnya yang bertubi-tubi.

Chanwoo menarik tanganku memasuki sekolah sepersekian sekon berikutnya. Lantas kami berdua berjalan bersisian melewati koridor. Sama-sama melangkahkan kaki dengan loker sebagai destinasi. Sungguh, langkah Chanwoo teramat pelan dan genggaman tangannya semakin mengerat, seakan ingin menikmati setiap detik yang kita miliki sebelum koridor berubah ramai. Sesekali kucuri pandang ke arah tubuhnya yang semampai.

Ya Tuhan, apakah aku tidak sedang bermimpi?

Apakah sekarang aku dan Chanwoo benar-benar berpacaran? Karena rasanya…masih sulit dipercaya.

Kendati benakku tak henti-hentinya membayangkan bahwa suatu hari kami tidak akan terkungkung status pura-pura lagi, tetap saja hatiku masih tidak percaya atas semua perlakuan Chanwoo saat ini. Ini semua terlalu indah dan—

“Kau melamun?” Chanwoo berujar pelan seraya tangannya terulur menyelipkan helai rambutku ke belakang telinga.

—aku harus terbiasa dengan semua ini.

 

 

***

 

 

Aku mengernyit.

Sepanjang perjalan menuju kantin, kerutan di keningku tak juga menyurut. Menolehkan kepala ke arah Yein—yang berjalan di sebelahku—hanya kedikkan bahu yang kuterima. Sungguh, aku bingung. Bisakah seseorang menjelaskan?

Kenapa setiap siswa yang melewatiku—

“Hai, Shan!”

—menyapaku??

Dan itu adalah sapaan kedua belas yang kuterima siang ini.

Saking sibuknya bergelut dengan pikiran, aku sampai tidak menyadari seorang siswa yang baru saja berbelok ke arahku. Lantas tubrukkan tak dapat terelakkan. Aku sedikit meringis saat pundakku menabrak pundakknya—yang tentunya jauh lebih tinggi dariku.

“Kau tidak apa, Shan? Maaf aku tidak melihatmu,” pemuda itu berujar dengan ekspresi panik. Ini aneh. Maksudku, hei, aku sudah biasa ditubruk dan senyum sarkastislah yang kuterima. Bukan perlakuan seperti ini.

“I-iya, tidak apa,” balasku seraya tersenyum canggung. Aku tersenyum pun karena dia duluan yang tersenyum!

“Syukurlah, sekali lagi maaf ya, Shan.”

Setelah berkata demikian, pemuda itu berlalu dari hadapanku. Ugh, sungguh aku bingung.

“Sepertinya karena kemarin, Shan?”

Ujar Yein begitu kami menempati salah satu meja kantin.

“Apa maksudmu, Yein­-a?”

Yein menyeruput vanila milkshakenya sebelum menjawab, “Karena penampilanmu yang sangat hebat kemarin, hari ini seluruh siswa menyapamu. Mereka telah terpesona denganmu, Shannon-a!”

Sejemang aku terdiam, hingga akhirnya aku tidak bisa menahan tawaku lagi.

Mwoya, Yein-a? Masa hanya karena nyanyianku??”

“Nyanyianmu memang hebat, Shannon-a!” Tiba-tiba terdengar seruan dari belakang kami, disusul dengan menyembulnya kepala seorang gadis dari samping tubuhku.

“Jang Yeeun!”

Yeeun tersenyum manis dan melambaikan tangan. “Annyeong!” Dan tak lupa sesosok jangkung yang juga turut tersenyum di belakangnya.

“Bolehkah aku bergabung dengan kalian, Nona-nona?” tanya Yeeun yang langsung dijawab anggukkan kepala olehku dan Yein.

Sepersekian sekon kemudian Mingyu undur diri—setelah sebelumnya mengecup singkat kening Yeeun. Menimbulkan decakan dari kami berdua. Mingyu dan Yeeun memang tergolong pasangan yang tak sungkan menunjukkan kemesraan mereka, menurutku. Yang terkadang menimbulkan rasa iri juga, bagiku. Namun entah kenapa, ada sesuatu yang mengganjal di benakku.

“Yeeun-a, kenapa Mingyu selalu menciummu di kening?”

Yeeun sontak menoleh padaku dengan ekspresi terkejut. “K-kenapa tiba-tiba kau bertanya begitu, Shannon-a?”

Aku mengibaskan tanganku dan kembali berujar, “Aniya, aku hanya penasaran. Mingyu bisa menciummu di pipi atau di—err…bibir. Tapi sepenglihatanku, Mingyu selalu menciummu di kening.”

“Iya, tolong jelaskan pada kami, Nona Jang,” ujar Yein menimpali.

Ya, baik aku atau Yein, pengalaman berpacaran kami masih sendikit, ralat, tidak ada malah. Yein belum pernah berpacaran, dan aku? Chanwoo adalah pacar pertamaku omong-omong.

“Cium di kening itu artinya sayang. Dan tentu saja aku sangat menyukainya setiap Mingyu menciumku di kening,” terang Yeeun.

Yeeun tertawa kecil dan mengerling ke arah kami. Eh, atau ke arahku, ya?

“Shannon-a, memangnya Chanwoo tidak pernah menciummu di kening?”

Tidak. Kalau boleh jujur, Chanwoo tidak pernah menciumku di kening. Justru dia lebih sering menciumku di—ekhem…aku tidak usah menyebutkannya ‘kan?

“Shannon Williams, bisa kita bicara?”

Suara seseorang menginterupsi—dan berasal pula dari belakang kami. Aku menoleh dan mendapati Junhoe tengah menatapku lamat.

“Maaf, Nona-nona. Tapi bisakah aku meminjam Shannon?”

 

***

“Shan.”

Aku berdeham menanggapi panggilan Junhoe. Setelah ‘menculikku’ dari Yein dan Yeeun, Junhoe membawaku ke taman belakang. Aku tidak tahu pasti apa yang akan Junhoe bicarakan denganku. Karena aku tidak merasa ada hal penting yang harus kubicarakan dengan Junhoe. Ia tidak memberiku klu sama sekali. Tapi yang jelas, kini Junhoe tengah menatapku intens dengan mimik serius.

“Sebenarnya sampai kapan kau dan Chanwoo akan pura-pura pacaran?”

Setelah sejenak hening mengambil alih, tahu-tahu pertanyaan itu menyambangi runguku.

Ada apa dengan Junhoe? Kenapa tiba-tiba dia mengungkit tentang itu?

Ya, memang hanya Junhoe lah yang mengetahui status pura-puraku dengan Chanwoo. Tapi, apa yang membuatnya khawatir, lantas menanyakan hal itu sekarang.

Oh, apakah kukatakan saja? Toh, Junhoe satu-satunya orang yang mengetahui segalanya tentangku dan Chanwoo.

“June.”

Junhoe menjungkitkan alisnya dan menatapku lekat-lekat. Seolah menuntut serentetan kata—yang merupakan penjelas—segera keluar dari bibirku.

“June, sebenarnya aku—

“Tunggu sebentar!”

Junhoe menepuk pundakku pelan dan kulihat matanya menatap ke arah belakangku. Maniknya seolah menilik situasi di belakang tubuhku.

“Ada apa?”

Netra Junhoe beralih padaku dan ia menggeleng singkat.

“Kita bicara di dalam saja.”

 

***

 

Author POV

Setelah dua sosok itu menghilang di balik gedung olahraga, seorang gadis masih mematung di tempatnya. Sebuah kalimat yang baru saja dicerna kokleanya, terus terngiang di pikirannya.

‘Berpura-pura pacaran?’ benak gadis itu tak percaya.

Lantas, belum se-inci pun tubuhnya bergerak, sepasang telapak tangan menyentuh pelan kepalanya. Menutup akses gadis itu untuk mendengar apapun. Dengan sekali sentakan, tubuhnya dibalikkan oleh pemuda yang berdiri di belakangnya.

Manik Halla membelalak menyadari siapa yang tengah menutup telinganya.

Sebelah tangan Vernon terlepas dan beralih menyentuh bibirnya sendiri dengan telunjuk sraya berujar, “Jangan katakan pada siapa pun.”

“Kau mengetahuinya?!”

Vernon mengangguk.

‘Bagaimana bisa??’

Vernon melepaskan pegangannya pada telinga Halla. Lantas tanpa bersuara lagi pemuda itu melangkah pergi. Untunglah Halla telah mengumpulkan kepingan kesadarannya hingga gadis itu bergegas menghalau Vernon.

“Ini saputanganmu,” seru Halla seraya menyerahkan sebuah saputangan yang diambilnya dari saku. Jujur saja, niat awal Halla ke sini adalah mengembalikan sapu tangan yang tempo hari pemuda itu pinjamkan padanya. Tapi tak disangka, dirinya malah mendengar sebuah rahasia.

Vernon meraih sapu tangannya dan menatap Halla—yang entah kenapa malah kembali melamun.

Pemuda kebaratan itu mengulum senyum dan mengendus singkat sapu tangannya. Harum peach langsung menyapa indera penciumannya. Lantas sebuah kalimat—yang bermaksud mengalihkan atensi gadis itu—lolos dari bibirnya.

“Wah, padahal kau tidak perlu mencuci­—

“BU-BUKAN AKU YANG MENCUCINYA!”

Vernon terkekeh atas reaksi Halla. Menyudahi tawanya, Vernon memasang ekspresi serius dan berujar, “Halla, kusarankan kau jangan—

ARRA! AKU TIDAK AKAN BERTENGKAR LAGI!!” seru Halla memotong perkataan Vernon kemudian berlari pergi.

 

 

***

 

 

Selesai mencatat data peminjaman milik seorang siswi kelas satu, Yein tersenyum ramah seraya menyerahkan sebuah buku cetak berjudul Kimia Unsur pada gadis berkuncir kuda yang tak lain adalah juniornya itu. Menerimanya seraya membalas ulasan senyum Yein, gadis itu beranjak dari meja petugas perpustakaan. Sejenak Yein mengedarkan pandangan, mengamati ruang perpustakaan yang berubah ramai karena ujian semester sudah di depan mata. Dan tepat pada saat itu, retina Yein menangkap sepasang siswa-siswi yang baru saja melangkah masuk ke perpustakaan. Sang gadis bersurai legam sepunggung langsung mengulas senyum lebar dan melambaikan tangannya sedang si pemuda tersenyum tipis pada Yein.

“Yein-a!” Gadis cantik itu menghampiri Yein disusul Jungkook yang berjalan di belakangnya.

“Eunha eonni, juga mau meminjam buku?” tanya Yein ramah pada gadis yang tak lain adalah Jung Eunha, sepupu Jungkook.

“Iya, Yein-a, ‘kan sebentar lagi ujian.” Gadis Jung itu memang sudah masuk ke sekolah Jungkook dan Yein mulai hari ini. “Um, boleh aku tanya di mana buku biologi?”

Lagi-lagi mengembangkan kurva, Yein menanggapi seraya menunjuk salah satu rak yang berada di dekat jendela paling belakang. “Buku biologi ada di sana, eonni.”

Okay, terima kasih, Yein-a.” Segera setelah berkata demikian Eunha melangkah ke arah yang Yein tunjukkan.

“Jungkook sunbae juga mau meminjam buku?”

Hanya itu yang dapat Eunha dengar sebelum dirinya berbelok menuju rak yang Yein maksud. Agak lama Eunha meneliti satu persatu buku cetak yang berada di sana, berusaha menemukan buku yang dicarinya. Hingga kepalanya menengadah dan menemukan buku yang ia maksud ternyata bersemayam di rak paling atas.

Berjinjit, mengulurkan tangan panjang-panjang atau pun melompat-lompat telah gadis bersurai legam itu lakukan tapi sebuah buku tebal bersampul cokelat tak juga terjamah tangannya. Eunha menghembuskan napas gusar, lelah sekaligus kesal. Namun sesaat kemudian terbesit di benaknya untuk meminta bantuan Jungkook. Bodoh sekali! Kenapa ia tidak minta tolong sedari tadi?

Gadis berperawakan mungil itu baru saja akan berbalik demi memanggil Jungkook saat wajahnya justru menabrak seseorang. Seseorang yang ia yakin adalah lelaki karena tubuhnya jauh lebih tinggi dari Eunha.

Memundurkan tubuhnya, Eunha sontak menengadah, memandang jelas rupa seseorang yang telah menabrak atau tidak sengaja ditabraknya.

“Ah, maaf. Kau tidak apa-apa?” pemuda jangkung itu berujar.

Manik Eunha membulat, napasnya tercekat dan tubuhnya mematung. Bibirnya yang terkatup tak menunjukkan tanda-tanda akan membalas pertanyaan pemuda di hadapannya. Gadis itu terihat amat sangat terkejut.

Merasa sudah biasa menghadapi situasi seperti ini ditambah ia sedang buru-buru, pemuda itu mengangkat bahu acuh dan berlalu. Meninggalkan sang gadis masih memaku kaki di tempat. Sibuk memutar otaknya dan meyakinkan dirinya sendiri kalau ia tidak salah lihat. Sungguh, Eunha masih tidak percaya kalau beberapa detik yang lalu di hadapannya berdiri seorang…

“Jung Chanwoo?”

 

 

***

 

 

Langkah si pemuda jangkung berhenti di sebuah meja yang letaknya terpencil di perpustakaan—berada di pojok dan dikelilingi rak-rak buku tinggi. Meja yang biasa digunakan ia dan kawan-kawannya (karena Yein adalah penjaga perpustakaan dan tidak banyak murid yang mengetahui tempat itu). Di atas meja terdapat tumpukkan buku-buku matematika yang hampir menutupi wajah seorang gadis yang duduk di belakangnya. Dengan santai, Chanwoo menarik kursi di seberang, membuat sang gadis memincingkan mata di balik tumpukkan buku cetaknya.

“Kemana saja kau Jung Chanwoo!”

Seringai kecil tergambar di paras Chanwoo alih-alih jawaban. Membuat Shannon harus menyimpan dalam-dalam sumpah serapahnya seperti “kalau bukan karena Eommamu yang memintaku untuk mengajarimu, aku tidak mau menunggumu selama lima belas menit seperti ini!”.

“Shan.”

Shannon mengerjap, suara Chanwoo barusan sukses membuyarkan lamunanya.

“Kau jadi ‘kan mengajarkanku?” Chanwoo berujar seraya memindahkan beberapa buku agar tak menutupi aksesnya memandangi wajah cantik Shannon.

Menghela napas perlahan, Shannon menjawab. “Baiklah aku akan mengajarkanmu.” Mengamit salah satu buku lantas membalik lembarannya dan berhenti pada bab Matriks. Shannon membuka buku itu di hadapan Chanwoo seraya telunjuknya menunjuk pada salah satu soal yang tertera di sana.

“Coba kerjakan yang ini.”

“Oke.”

Chanwoo mulai menggoreskan pensilnya, menyalin soal yang gadisnya maksud ke dalam buku catatan ditemani Shannon yang menatap pergerakannya intens. Selepas itu ia mulai mengamati soalnya, mencoba menerka rumus apa yang harus digunakannya. Baru saja Chanwoo menuliskan sebaris rumus saat terdengar suara protes dari Shannon.

“Bukan seperti itu, Chan.”

Menengadah, Chanwoo melempar tatapan tanda tanya pada Shannon. Paham, Shannon menjelaskan. “Kau harus membaginya, Chan.”

Oh, membagi. Baiklah Chanwoo akan memasukkan angka ini ke rumus itu lalu membaginya. Ah, hasilnya segini, selanjutnya dikal—

“Itu tidak bisa dikalikan dengan ini.”

Oh, mungkin ditambah?

“Dicari akarnya dulu, Chan.”

Akar? Akar ini harus dibagi—

Terdengar dengusan dari gadis di hadapannya. “Sudah kubilang itu tidak bis—

Tapi sayang, Shannon tidak bisa melanjutkan kata-katanya karena pemuda itu telah lebih dulu memajukan tubuhnya dan membungkam Shannon dengan bibirnya. Memagut bibir lembut Shannon serta merenggut semua pasokan udara gadis belia itu. Setelah dirasa cukup membuat Shannon terdiam (berdetak abnormal, merona, berdesir dan segala efek memalukan lainnya), Chanwoo menjauhkan wajahnya. Menyarangkan tatapan setajam elangnya pada manik cokelat Shannon yang membulat. Sungguh, gadis itu tampak cantik sekaligus lucu dengan rona merah alami di pipinya. Bukankah Chanwoo sangat berbaik hati membuat Shannon tak perlu repot-repot menggunakan blush on?

Memasang ekspresi gusar, Chanwoo berujar. “Berisik! Kalau kau bicara lagi aku akan melakukannya lebih dari itu.”

Membuat Shannon sepenuhnya bungkam dengan netra yang semakin melebar. Tanpa Chanwoo tahu mungkin gadis itu sudah menyumpahinya berjuta kali di dalam hati. Damn, Jung Chanwoo!

Dan di detik selanjutnya Chanwoo kembali berkutat dengan buku catatannya, berpolah seolah tidak terjadi apa-apa. Lama Shannon diacuhkan karena si lelaki tampak begitu serius dengan soal di hadapannya. Bahkan sepengamatan Shannon—karena ia tidak memiliki kerjaan lagi—pemuda itu tak berkedip sekali pun. Dan entah kenapa kini waktu seolah berjalan lebih lambat hingga tak sadar—

“Hoamm…”

—Shannon menguap lebar. Sukses mencuri atensi Chanwoo yang kini mengangkat wajahnya dari permukaan meja.

“Kau begadang untuk ujian?”

Menggeleng pelan. “Tidak, aku tidak pernah begadang untuk ujian.”

“Lalu kenapa seperti kurang tidur begitu?” Chanwoo kembali bertanya dengan alis yang sedikit dijungkitkan—penasaran.

Tapi lain halnya dengan Shannon kini bersedekap, tak menyangka akan ditanya demikian. “Um…itu…tadi malam aku tidak bisa tidur.”

“Kenapa?”

TENTU SAJA KARENA KAU, JUNG CHANWOO!

Ya, rasanya Shannon ingin berteriak seperti itu. Tapi, mau ditaruh di mana wajahnya?

Chanwoo menghempaskan pulpennya. “Ah, aku lelah.” Dan tanpa aba-aba mengangkat bokong dari bangku serta berjalan memutari meja, lantas kembali mendaratkan bokongnya di sebelah Shannon. Membuat gadis blasteran itu serta merta mengernyit.

“Kau mau apa, Chan?”

Menoleh dan menguap sedikit, berpolah seolah ia sangat lelah. “Istirahat.”

“Lalu belajarnya baga—”

Lagi-lagi Shannon tidak dapat menyelesaikan perkataannya karena kalah cepat dengan pergerakan si pemuda Jung yang meletakkan kepala gadis itu di bahunya.

“Eh? Chan?”

“Belajarnya lanjutkan nanti saja. Sekarang kita istirahat.” Turut disandarkannya kepala menimpa gadisnya seraya memejamkan mata.

Merasakan kepala Chanwoo menyandarinya, si gadis menelan saliva sejenak. “T-tidak apa seperti ini?”

“Iya, tidak apa.”

“Tapi aku ‘kan berat.”

“Iya, memang berat.”

Ya!” Shannon mengangkat kepalanya dan berteriak.

Chanwoo tertawa. “Tidak, aku hanya bercanda.” Lantas menyentuh pelan kepala Shannon kembali bersandar di bahunya. “Kau ringan, kok.” Dan Shannon pun mengulum senyum mendengarnya.

Lamat-lamat kelopaknya turut terpejam. Lama keduanya larut dalam diam, membiarkan setiap menit dilalui dengan tertram. Sampai akhirnya Chanwoo membuka suara, memecah keheningan.

“Shan, apa tidak ada hadiah kalau nilai ujianku di atas delapan?”

“Um…bagaimana kalau satu permintaan?”

“Setuju!”

“Kau mau meminta apa?”

“Bagaimana kalau pergi bersama ke pesta kembang api?”

 

 

***

“Junhoe sunbae!”

Mempercepat langkahnya menuju lapangan tenis, Thea melambaikan tangan dengan semangat ke arah Junhoe.

“Junhoe sunbae, ppali!”

Hari ini Junhoe telah berjanji untuk membantunya belajar sepulang sekolah, mengingat ujian semester telah tinggal menghitung hari. Namun anehnya pemuda itu malah latihan tenis, padahal jelas-jelas ujian sudah di depan mata. Melangkah gusar, Thea hendak menyeret pemuda itu ke perpustakaan, cepat-cepat.

“Nanti saja, aku masih lelah,” jawab Junhoe sambil menenggak chocolate milkshakenya sampai tandas. Entah kenapa manik Thea tidak bisa lepas dari pemuda yang sedang minum itu sampai tiba-tiba muncul ide gila di kepalanya. Thea menarik kerah kaus polo Junhoe seraya berjinjit dan kalian pasti dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya. Thea mengecup bibir Junhoe. Entah apa yang ada di pikiran Thea sampai memiliki ide segila itu.
Junhoe yang tidak siap menerima “serangan” dari Thea hanya dapat mengerjap-ngerjapkan matanya kebingungan.

“Aku tidak mau nanti, aku maunya sekarang! Siapa suruh tidak menyisakanku chocolate milkshakemu,” ujar Thea diakhiri menjulurkan lidahnya lalu berlari meninggalkan Junhoe. Thea menjilat bibirnya. Hmm, rasa cokelat.

***

 

Jam ujian terakhir baru saja berakhir, menimbulkan sorakan penuh kemenangan dari para siswa lainnya. Pekan yang sepenuhnya diisi berbagai ujian kini telah terlewati. Sekarang saatnya melepas kepenatan serta stress yang ditimbulkan karena berkutat dengan buku pelajaran. Banyak gerombolan siswi yang hendak pergi ke karaoke atau sekelompok siswa yang akan bermain futsal, masing-masing memiliki cara tersendiri untuk melepas penat tak terkecuali Jeong Yein. Hari ini Jungkook mengajaknya pergi untuk mengganti kencan mereka yang gagal karena kedatangan Eunha tempo hari. Melangkah dengan senyum merekah, gadis itu berulang kali mengecek ponselnya karena ia dan Jungkook berjanji akan bertemu di depan gerbang.

“Yein-a!”

Yein baru saja keluar dari sekolah saat suara seorang perempuan memanggilnya. Menoleh, Yein mendapati seorang gadis bersurai legam tengah berjalan ke arahnya.

“Eunha eonni.” Yein membalas dan tersenyum manis.

“Kau mau pulang?”

“Tidak, setelah ini aku akan—

Eunha bergelayut pada lengan Yein. “Ayo kita pergi karaoke?”

“Um, Eonni, tapi aku—

“Ayolah, sejak pindah ke Seoul aku belum pernah pergi karaoke dan aku juga tidak ada teman perempuan selain kau, Yein-a,” Eunha kembali berujar dengan nada merajuk.

Terbesit rasa tidak enak di hati Yein. Memang, semenjak pindah ke sekolahnya, gadis itu selalu bergantung pada Yein. Namun, kesempatan untuk pergi dengan Jungkook tidak datang setiap hari dan Yein tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Maaf, Eonni. Aku minta maaf sekali.”

Entah kenapa, raut wajah Eunha seketika berubah.

“Sebenarnya hari ini aku akan pergi dengan Jungkook. Aku sudah lebih dulu membuat janji dengannya jadi…maafkan aku, ya , Eonni.”

Wajahnya menunduk, mengeras, lantas menengadah dan menatap jengah pada Yein.

“Tahukah kau?”

“Hah?”

“Aku dan Jungkook—” senyuman miring atau mungkin bisa dibilang senyuman mengejek, terpeta di wajahnya. “—kami sudah berciuman.”

Eunha tersenyum lebar, kontras dengan manik Yein yang membelalak.

“Semoga kencanmu sukses.”

Dan sepersekian sekon berikutnya gadis bersurai legam itu beranjak dari hadapan Yein, meninggalkan si gadis jangkung yang masih berdiri mematung. Sibuk dengan pikiran—mencoba mencerna perkataan Eunha barusan.

Oh, apakah Yein tidak salah dengar? Barusan gadis itu bilang kalau ia dan Jungkook sudah—

“Maaf lama menunggu, Jeong Yein.”

Yein terlalu sibuk dengan benaknya sampai tak menyadari presensi Jungkook yang telah menghentikan motornya di hadapan sang gadis.

“Jeong Yein?”

Tersadar, Yein menjatuhkan padangannya pada Jungkook yang menatapnya lekat.

“Ayo kita pergi.”

***

Semilir udara dingin menggelitik tengkuk polos Yein. Hembusan angin turut memainkan surai cokelat pun anak rambutnya yang dikuncir kuda. Tapi yang bersangkutan tetap setia dengan bibir yang mengatup dan kepala menunduk. Bahkan tak ada tanda-tanda bahwa ia akan memeluk dirinya karena kedinginan. Seluruh atensi Yein terkuras pikirannya sendiri. Mengabaikan sosok pemuda bersurai hitam yang sedari tadi berjalan beriringan dengan dirinya menyusuri taman.

Jungkook yang sejak lima belas menit yang lalu tak juga melepaskan fokus retinanya pada sang gadis, menarik tangan Yein demi menghentikan langkahnya.

“Jeong Yein, ada apa?” pertanyaannya disambut tatapan kosong Yein.

Jungkook menatapnya khawatir. Pasalnya sedari mereka berangkat menggunakan motor hingga mereka sampai di taman ini, Yein masih saja bungkam. “Apa kau sakit?”

Sunbae…” Kali ini Yein mengeluarkan suara lirih, membuat Jungkook serta-merta memerhatikannya lekat-lekat, menunggu Yein melanjutkan perkataannya. Sedang si gadis mulai memandangnya lamat.

“Boleh aku bertanya?”

Sejenak mengeryitkan kening, Jungkook mengangguk singkat. “Iya.”

Terdengar helaan napas berat Yein, membuat Jungkook semakin kehilangan klu tentang apa yang gadis remaja itu risaukan. “Kudengar…tidak…apa benar Sunbae dan Eunha eonni pernah berciuman?”

Sedetik Yein mengerjapkan matanya karena, oh, sungguh, ekspresi Jungkook kini benar-benar tak terdefinisi. Yein harap itu semua hanya lelucon.

“Itu benar.”

Ia harus bereaksi apa?

“Tapi dia duluan yang menciumku. Itu hanya…ciuman tanpa perasaan.”

Aneh kenapa Yein merasa dadanya sesak? Padahal Jungkook, orang yang disukainya, mengatakan kalau ciuman itu hanyalah—sial! Sekarang air mata bahkan luruh dari pipinya. Tidak tahu. Yein bahkan tidak tahu kenapa ia menangis.

“Yein? Kenapa kau menangis?” Jungkook menyentuh pelan pipi Yein yang telah basah.

“Hei, sudah kubilang ‘kan itu hanya ciuman tanpa perasaan.”

Tapi tetap saja. Itu artinya Jungkook dan Eunha sudah…

“Jeong Yein.”

Memejamkan kelopak matanya, aliran air asin semakin menganak di pipi mulus Yein. “Maaf…aku…aku tidak bisa berhen—

Napas Yein tercekat merasakan bibir Jungkook kini mendarat di bibirnya, menyalurkan kehangatan sekaligus ulasan lembut di permukaan kulit arinya. Pagutan itu semakin dalam, entah siapa yang memulainya, entah, tidak ada yang mau melepasnya. Hingga nalar pemuda itu menamparnya kembali pada dunia nyata. Membuatnya lekas-lekas memundurkan wajah dan menatap paras sebab pun kemerahan milik Yein.

“M-maafkan aku, Jeong Yein…”

Tapi terlambat. Tanpa suara pun kata-kata, Yein memacu tungkainya menjauh memecah keheningan malam.

“Jeong Yein!”

.

.

.

TBC

[Next]

[Prev]

9 komentar pada “Mr.Chu (Chapter 11)”

  1. Brrrrrrrrrr… Itu nyatakan, bukan mimpi? Kkk.. Halla pliz jangan nakal, ambil aja si bule jangan ganggu chanon(?) lagi zzz.. Yeinnnnn jangan mewek lah… Jungkook help :v

    Suka

  2. Perjuangan berat ty baca chapter ini serius. Aku sampai ketiduran (efek overwork huhu) pas bangun baru lanjut lagi wk.
    Aku gak mempermasalahkan Canon buat part ini but GU JUNE MULUT LO YA. EMBERNYA BOCOR LAGI NIH MINTA DITAMBAL KEKNYA NIH! And plz halla, live your own life dung jangan kepoin orang mulu.
    Yein juga 😦 plz yein dengerin coba lagunya mas jay park, “Maybe you’re not my first, but you’ll be my last.” Gitu lah kira-kira duh jgn main kabur ajaaaaa. Kasian jungkook huft
    Feels ku tercampur aduk bak bibimbap/? di chapter ini ty seriuzan dan what? NEXT CHAP WILL BE LAST CHAP? omg i hope it’ll be happy ending buat semua kopel mr.chu ini yaaaaaaaa. Doaku menyertaimu eaaaaaa

    Babay ty, mo nyambung mimpi dulu bareng dodong wk

    Suka

  3. Kayak nya bakal ada kopel baru. Kopel d tiap ff mu gak brubah ya. Jungkook yein, halla breng vernon lagi. Aku udah sering bilang gini tp ff mu biat aku ngefluff gak jelas. Suka..

    Suka

  4. Uwwaaa… kuki udah dewasa pake acara ngekiss sgala >_<
    Chanwoo pas udah jadian ngilang ya sikap dingin nya. Makin ngegemesin gitu

    Suka

Tinggalkan komentar