KisSin (Chapter 5)

wp-1468430165537

KisSin

|JeongIn|

starring:

BTS Jungkook, Lovelyz Yein,

and other mr.chu squad

Romance, Fluff, School life, Hurt/Comfort | Chaptered | PG-17 (for kissing)

Soundtrack :

Lee Hi – Love (Keyshia Cole cover)

previous :

1 | 2 | 3 | 4

Summary :

“If you want me to stay quiet, then have an affair with me too.”

.

.

.

Chapter 5

Langit petang dengan sinar matahari yang mulai mengoren menjadi latar dua insan yang sedang larut dalam perasaan. Bibir lembut keduanya bertaut, tanpa kesan menuntut. Tubuh keduanya mematung dalam waktu yang sudah tak terhitung. Enggan berpisah sebelum kemudian sang gadis memundurkan wajah. Kelopak mata Yein masih terpejam, pegangannya di dasi Jungkook mengendur, dan perlahan gadis itu melangkah mundur. Namun Jungkook tak mengijinkannya, lengan pemuda itu terangkat menarik pinggang Yein agar gadis itu mendekat. Meretas jarak di antara mereka hingga tak bersisa. Sehingga manik Yein dapat bersitatap dengan milik Jungkook ketika kelopak mata indahnya terbuka.

 “Apa artinya ini, Yein?” lirih Jungkook. Hangat napasnya menerpa wajah mulus Yein.  “Apa artinya kau menyukaiku?”

Mana mungkin Yein dapat membohongi perasaannya lagi jika Jungkook menatapnya sedalam ini—sampai-sampai Yein takut Jungkook dapat menerawang sampai ke isi hatinya. Yein mengangguk, dan dengan bibir bergetar ia menjawab, “Iya, aku suka, Sunbae.”

Membuat sepersekian sekon kemudian tubuh Yein tenggelam dalam dekapan Jungkook. Pemuda Jeon itu memeluknya sangat erat, sehingga Yein sesak dibuatnya. Yein tidak tahu ia harus merasa bahagia karena kini perasaan mereka sama atau justru sedih karena apa yang dialaminya selama ini. Rasa senang, kecewa, dan penderitaan saat didiamkan Jungkook berhari-hari bercampur dalam air mata yang kini membasahi pundak Jungkook.

“Aku merindukanmu,” ujar Yein di sela tangisnya. Buat Jungkook menggigit bibir bawahnya dan berbisik, “Aku lebih merindukanmu.”

***

Sunbae…”

Yein berusaha bangun dan melepaskan tautan tangan Jungkook di perutnya, namun pemuda itu malah mendorong kepala Yein kembali bersandar di dadanya dan mengeratkan genggaman tangan mereka. Sekarang matahari sudah terbenam tiga perempat dan langit mulai gelap, tapi Jeon Jungkook masih betah duduk bersandar dinding pembatas atap sambil merengkuh gadisnya erat.

“5 menit lagi.” Jungkook membenarkan posisi dagunya di kepala Yein dengan mata masih terpejam. Seakan protes Yein barusan tidak menghilangkan rasa nyamannya.

Sunbae sudah mengatakannya 5 kali, tahu.”

Awalnya Yein juga merasa demikian, aman dan nyaman di dalam rengkuhan Jungkook. Ditambah angin bulan November yang berembus dan juga pemandangan langit yang indah. Namun saat langit perlahan-lahan mulai gelap, mau-tak mau Yein merasa resah. Karena itu artinya ia akan pulang terlambat. Pulang terlambat sama saja dengan minta diberi wejangan semalam suntuk oleh Appanya.

“Aku akan mengantarmu pulang,” tanggap Jungkook.

“Tapi tidak sampai depan rumah! Appaku sedang ada di rumah dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Appa sampai melihat Sunbae mengantarku pulang sesore ini.”

Kontan saja kelopak mata Jungkook terbuka. Benaknya membayangkan bagaimana seramnya Appa Yein tempo hari saat ia mengantar gadis itu pulang. Pemuda Jeon itu mendesah berat.

Jangankan berselingkuh, berpacaran resmi pun sepertinya akan sulit mendapat restu Appa Yein…’ batin Jungkook.

“Padahal aku ingin sekali main ke rumahmu.”

“Main ke rumahku?!”

Mendengar respon histeris Yein, Jungkook jadi memajukan wajah, menatap Yein dan mem-pout-kan bibirnya. “Tidak boleh?”

“Bukannya tidak boleh, tapi ‘kan—”

“Hm?” Yein menyesali keputusannya untuk menoleh karena wajah merajuk Jungkook—yang justru terlihat imut itu—membuat ia tidak bisa menolak.

“Baiklah,” sahut Yein pasrah, berbanding terbalik dengan ekspresi Jungkook yang berubah sumringah.

“Aku akan ke rumahmu akhir pekan ini.”

***

“Kau dari mana saja, Jung Yein?”

Suara yang selalu sukses membuat Yein bergidik, menyapanya sedetik setelah Yein menjejakkan kaki di ruang tamu. Kendati yang terlihat adalah Jung Taekwoon yang tengah duduk tegap di atas sofa sambil membaca Koran, Yein tahu kalau Appa-nya itu sedang menunggunya pulang sejak tadi. Saat mereka sarapan pagi ini, Taekwoon sudah mengingatkan kalau ia tidak bisa menjemput Yein, dan sekarang ditambah Yein tidak pulang bersama Chanwoo. Wajar kalau tuan Jung itu kini menunggu putri sulungnya pulang untuk diinterogasi—atau kalau Yein tidak beruntung, diberi wejangan semalam suntuk. Baguslah Yein pulang dalam keadaan normal sehingga Taekwoon tidak akan melakukan hal yang kedua.

“Maaf, Yein pulang terlambat, Appa. Tadi Yein pergi ke toko buku untuk membeli sesuatu dan Yein tidak bisa mengabari Appa karena ponsel Yein…masih Appa sita. ” Yein tidak tahu sejak kapan berbohong menjadi kebiasaannya.

“Kau menyita ponsel Yein?!”

Seruan familiar itu berasal dari dapur. Buat Yein serta-merta memutar kepala ke arah kiri dan mendapati Joohyun tergopoh-gopoh menghampiri ruang tamu. Yein tidak tahu kalau Eomma-nya sudah pulang. Ini adalah pemandangan langka, melihat Appa dan Eomma-nya berada di ruangan yang sama dan saling bertatap muka. Seulas senyum baru saja akan terukir di paras Yein kalau saja ia tidak ingat perkataan Appa-nya tempo hari.

“… Appa menyita ponselmu sampai Eomma-mu pulang. Appa akan menjemputmu setiap hari dan kau juga tidak boleh keluar rumah setelah pulang sekolah. Akan Appa katakan pada Eomma …”

Seketika hati Yein mencelos. Tidak, itu artinya sebentar lagi Appa dan Eommanya akan—

“Sekarang masuk ke kamarmu, dan Chanwoo juga.”

“Baik, Appa.”

Hati Yein membenarkan firasatnya ketika peritah itu terlontar dari bibir Taekwoon. Lekas Chanwoo yang sedari tadi memerhatikan dari balik tangga, menghampiri Yein dan menariknya menuju kamar mereka di lantai dua.

 “Sebaiknya kau jaga Yein.”

“Apakah Yein hanya anakku? Lalu bagaimana dengan Thea? Apa kau peduli apa yang ia makan?”

“Karena kau gagal menjadi seorang ibu!”

Samar-samar, Yein dapat mendengar suara tinggi kedua orangtuanya yang bersahutan saat ia menaiki anak tangga. Sudah lama sekali sejak Yein terakhir kali mendengar kedua orangtuanya bertengkar.

 “Iya! Aku gagal menjadi seorang ibu karena aku bahkan tidak tahu saat anakku sakit!!”

***

Yein tidak tahu sudah berapa lama ia menangis. Air matanya tidak juga mau berhenti setelah ia mendengar seruan Eomma-nya sebelum memasuki kamar. Bahkan Yein tidak tahu sejak kapan ia tertidur karena kelelahan dan kembali terbangun karena merasa haus. Mata Yein terasa berat, namun ia yakin bukan karena ia masih mengantuk. Kelopak mata Yein pasti sangat bengkak sekarang. Entah bagaimana Yein menjelaskannya pada Shannon dan Yeeun besok jika ia ke sekolah dengan mata sebesar bola ping-pong. Sebaiknya Yein juga mengompres matanya dengan sendok dingin saat mengambil minum nanti.

Mengendap-endap menuruni tangga, Yein melihat Appa-nya tertidur di sofa. Sejenak Yein mematung di ujung tangga sambil mengamati Appanya. Kendati matanya tertutup dengan damai, gurat-gurat kemarahan masih terlihat di wajahnya.

Appa tidak pernah terlihat tenang bahkan ketika ia tidur’.

Tiba-tiba saja Yein tidak merasa haus lagi. Bahkan kini langkah kakinya malah menuntunnya ke koridor alih-alih ke dapur. Di lantai satu hanya terdapat sebuah kamar, yaitu kamar Eomma-nya. Yein memutar kenop pintu dengan hati-hati, enggan mengusik Joohyun dari tidurnya.

Beruntung Yein sudah tidak bisa—atau mungkin tidak mau—menangis lagi sekarang kendati yang tertangkap netranya saat ini adalah Eomma-nya yang tertidur sambil memeluk foto Thea. Bersedekap di tepian ranjang, Yein menghapus jejak air mata di pipi Eomma-nya. Tiba-tiba saja ia teringat kata-kata Appa-nya tadi malam.

“Karena kau gagal menjadi seorang ibu!”

Yein benci Appa-nya. ‘Kenapa ia selalu menyakiti hati Eomma?!’.

***

Hari ini adalah hari Sabtu. Yein bisa sedikit menghela napas lega sambil berleha-leha di atas sofa bersama saudara kembarnya. Pagi-pagi sekali Appa-nya pulang ke rumahnya dan tidak ada satupun hari libur bagi Pengacara Bae yang gila kerja. Jadilah Yein hanya berdua bersama Chanwoo di akhir pekan begini. Sebenarnya Yein juga sudah biasa menghabiskan hari libur seharian penuh di rumah. Entah untuk menonton film, memasak makanan, membaca buku, atau membantu beres-beres rumah. Bagi orang lain mungkin semua kegiatan itu adalah hal yang biasa mereka lakukan sehari-hari. Tapi tidak bagi Yein, hal-hal barusan adalah caranya menghilangkan kepenatan dengan rutinitas sekolah, kegiatan belajar, dan juga tugas-tugas yang menumpuk. Berbeda halnya dengan Chanwoo yang setiap Minggu pergi latihan basket di sekolah.

Bukankah sudah Yein katakan kalau hidupnya sangat membosankan?

Yein baru saja menyelesaikan halaman kedua buku novel romansa yang dibelinya beberapa bulan lalu—dan baru sempat dibacanya sekarang—ketika ponselnya berbunyi nyaring di atas meja. Jarak Chanwoo yang lebih dekat dengan meja dibanding ia yang sedang selonjoran di atas sofa, membuat Yein lantas menendang lengan berotot Chanwoo. Mengisyaratkan pemuda itu untuk mengambil ponselnya yang kini berdering untuk yang kedua kali.

“Nih.”

Tapi bukan Chanwoo namanya kalau ia akan memberikan ponsel Yein begitu saja dengan cara yang wajar.

“Aw!”

Kontan saja Yein menjerit karena pemuda Jung itu baru saja melemparkan ponselnya hingga terjun bebas mencium kening Yein.

“Ups!”

“JUNG CHANWOO!”

Yein baru saja akan menerjang lelaki berboxer yang sedang menggaruk perut berototnya—untung saja dia rajin olahraga—sambil mengemil kripik kentang itu kalau saja nama yang tertera di notifikasi ponselnya tidak mengalihkan perhatiannya. Karena yang tertangkap manik Yein sekarang adalah…

‘Jungkook sunbae?’.

 …nama seorang pemuda, yang kalau ia boleh jujur, sangat dirindukannya saat ini. Dengan cepat Yein membuka dua pesan singkat yang Jungkook kirimkan barusan. Pesan pertama berbunyi, “Yein-a, selamat pagi”. Serta-merta menimbulkan seulas senyum di wajah polos Yein yang belum mandi pagi ini. Lalu manik Yein bergulir membaca pesan yang hanya berselang dua detik kemudian.

“Aku akan sampai di rumahmu 30 menit lagi. Kau tidak lupa dengan janjimu kan?”

Pesan yang kontan membuat senyum di wajahnya menyurut. Merasa kalau ia masih setengah mengantuk sehingga otaknya tidak bisa bekerja dengan baik dan pandangannya kabur, Yein mengusap matanya sejenak sebelum kembali membaca pesan Jungkook. Sepersekian sekon kemudian maniknya pun membelalak.

‘A-APA?! JUNGKOOK SUNBAE AKAN SAMPAI DI RUMAHKU SETENGAH JAM LAGI?!!’ jeritnya dalam hati. Selanjutnya ia pun mulai memukul-mukul keningnya sendiri. ‘Jung Yein bodoh! Bagaimana bisa kau lupa kalau Jungkook sunbae akan datang ke rumah pada akhir pekan!’.

Yein sadar bahwa sekarang bukan saatnya untuk merutuki kebodohannya. Kurang dari 30 menit lagi Jungkook akan sampai. Dalam kurung waktu itu Yein harus sudah beres-beres rumah, mempersiapkan diri—mandi dan berdandan misalnya, ugh, penampilan Yein tidak banget saat ini—dan menyingkirkan masalah terbesar. Yeah, masalah terbesarnya dalam mengundang Jungkook ke rumah bukanlah kedua orangtuanya (apalagi Appa-nya) yang kini sedang keluar, tapi melainkan sosok saudara kembarnya yang notabenenya adalah sahabat Jeon Jungkook.

‘Ah, iya. Bagaimana caranya aku mengusir Chanwoo keluar rumah sekarang? Ia hanya pergi keluar pada hari Minggu karena ada kegiatan klub. Setiap Sabtu ia pasti ada di rumah dan tidak akan keluar meski teman-temannya mengajak pergi karena ingin menemaniku yang selalu liburan di rumah. Kira-kira alasan kuat apa yang bisa membuatnya pergi sekarang?’ benak Yein mulai berkecamuk. Ia mulai memutar otak, mencari ide untuk membujuk Chanwoo keluar rumah tanpa curiga. Kalau Yein minta dibelikan sesuatu di supermarket, Chanwoo pasti tidak akan mau dan akan menyuruhnya pergi sendiri atau mereka akan berakhir pergi berdua. Tapi kalaupun Chanwoo mau menyanggupi permintaan Yein, ia pasti akan pulang dengan cepat karena tidak mau meninggalkan Yein terlalu lama.

Yein kesal dengan kinerja otaknya di saat-saat begini. Padahal ia bisa memecahkan soal trigonometri dalam lima menit. Kenapa mencari solusi untuk menyingkirkan Chanwoo dalam waktu dua puluh menit saja rasanya susah sekali sih?

Neuron Yein seakan hendak mengolok-olok si empunya karena tiba-tiba saja sebuah ide melintas di benaknya.

‘Nah, itu dia!’

“Chanwoo-ya.” Dengan suara semanis mungkin, Yein memanggil Chanwoo yang masih sibuk menonton kartun Doraemon sambil menekuni kripik kentang honey butter-nya.

“Hm?”

Seperti perkiraan, pemuda itu hanya membalas Yein dengan dehaman. Tapi Yein tidak mempermasalahkannya karena mood-nya saat ini sedang bagus. Yein sangat percaya diri dengan idenya kali ini. Karena—

“Shannon sedang bingung memilih gaun, kenapa tidak kau temani dia?”

“Di mana?”

“Di Myeongdong.”

“Aku akan siap dalam sepuluh menit!”

—tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian Chanwoo selain sosok gadis kaukasian yang menjadi pujaan hatinya selama dua tahun ini, Shannon Williams.

Yein terkikik geli di tempatnya. Ternyata semudah itu menipu Jung Chanwoo. Dan apa katanya barusan? Sepuluh menit? Wah, kurang dari waktu yang Yein harapkan malah. Menghentikan tawanya, Yein buru-buru mengirim pesan pada teman sebangkunya itu. Memintanya untuk bertemu di sebuah pusat perbelanjaan di Myeongdong dua puluh menit lagi.

Yein baru saja menyentuh tombol ‘send’ saat Chanwoo menuruni tangga. Penampilannya berubah 180 derajat dari penampilannya beberapa saat lalu. Kaus belel yang semula membalut tubuh tegapnya berganti menjadi kaus hitam dengan jaket baseball sebagai luaran. Begitu pula boxer yang semula membalut kaki jenjangnya kini bergenti menjadi celana jeans dipadu sepatu Reebok warna hitam yang mengalasi tungkainya. Rambutnya yang semula awut-awutan—khas orang yang baru bangun tidur—kini telah rapi disisir ke belakang. Belum lagi harus parfum apricot menguar dari tubuhnya dan tercium saat Chanwoo masih menuruni tangga.

 “Wah, wah, tuan Jung. Kau ini ingin menemani seorang gadis belanja atau mau pergi kencan buta?” sindir Yein. Terlampau kaget dengan transformasi Chanwoo yang luar biasa.

“Berisik!”

Direspon seperti itu Yein hanya balas mem-pout-kan bibir.

“Aku pergi sebentar, ya. Kau jangan ke mana-mana. Tetaplah di rumah dan jangan lupa kunci pintunya,” Chanwoo mulai memberi perintah pada Yein seperti ia akan meninggalkan bocah berusia 6 tahun sendirian di rumah. Huh, padahal ‘kan mereka hanya berselisih tujuh menit!

“Iya, iya, bawel.”

Chanwoo sempatkan mengusak surai berantakan Yein—membuatnya semakin kusut dibanding saat baru bangun tidur tadi—sebelum kemudian melenggang menuju pintu. Yein hendak marah tapi rasa senangnya karena berhasil mengusir Chanwoo membuatnya lebih memilih untuk menyemangati saudara kembarnya tersebut.

Hwaiting, Chanwoo-ya!”

***

Jungkook datang tepat setelah Yein mengaplikasikan selapis tipis maskara di bulu matanya. Sejenak gadis bermarga Jung itu mematut wajahnya yang mengenakan riasan sederhana dengan lip tint warna pink dan sedikit perona pipi. Lalu turun ke tubuh kurusnya yang dibalut kemeja longgar warna biru dongker dan skinny jeans putih selutut. Merasa tidak ada waktu lagi untuk menghias rambutnya, Yein hanya menyisirnya sekilas sebelum lantas berlari keluar kamar dan menuruni tangga karena Jungkook sudah membunyikan bel untuk yang kesekian kalinya.

“Kukira kau kabur karena tahu aku akan datang,” cibir Jungkook begitu pintu terbuka. Awalnya sih ia ingin melancarkan protes dengan bibir yang dimonyong-monyongkan, tapi tidak jadi lantaran Yein menyambutnya dengan wajah berseri-seri. Senyuman terpatri di paras cantiknya dan netra Jungkook pun bergulir menelisik Yein dari ujung kaki sampai ujung kepala. Baru kali ini ia melihat Yein mengenakan pakaian biasa—well, ini memang bukan yang kali pertama, Jungkook pernah melihatnya memakai pakaian selain seragam saat mereka pergi karaoke tempo hari tapi Jungkook tidak terlalu memerhatikan penampilan Yein saat itu.

Selanjutnya Yein mempersilahkan Jungkook masuk dan menuntunnya untuk duduk di sofa ruang tamu. Yein bersikap begitu natural, seakan ia sudah biasa menerima tamu laki-laki di rumahnya. Untuk ukuran seorang gadis yang baru pertama kali punya pacar—ralat, selingkuhan—Yein tidak merasa canggung menyambut Jungkook hingga…

“Kau hanya sendirian di rumah?”

…Jungkook bertanya demikian. Ya, Yein memang baru kali ini dekat dengan seorang lelaki sampai-sampai dengan polosnya ia malah mengundang Jungkook masuk saat rumah dalam keadaan kosong.

“I-iya, Eomma dan Appa sedang ada urusan dan Chanwoo baru saja keluar untuk bertemu Shannon.”

Well, ini memang bukan pertama kalinya Yein berada di tempat sepi bersama Jungkook. Bahkan selama ini mereka selalu bertemu di tempat-tempat yang jauh dari jangkauan; ruang BP, atap sekolah, dan kelas kosong. Tapi itu semua adalah tempat umum. Berbeda halnya dengan rumah yang merupakan lingkup ruang pribadi. Mencermati dari bagaimana Jungkook memperlakukannya selama ini, begitu banyak kontak fisik dan menciumnya tanpa sungkan, Yein jadi khawatir. Bagaimana kalau nanti Jungkook akan berbuat lebih jauh dari berciuman? Mengingat saat ini rumah hanya berpenghuni mereka berdua. Ah, Yein tidak berpikir sampai ke sana.

“Yein-a.”

“Y-ya?!” Yein hampir terlonjak saat Jungkook memanggilnya. Untungnya Jungkook sedang tidak melihat ke arahnya sehingga ia tidak akan menyadari rona merah dan kegugupan yang mulai mendera Yein.

‘Apakah reaksiku berlebihan? Belum tentu ‘kan kalau Jungkook sunbae akan macam-macam padaku? Ah, tapi sekarang aku dan Jungkook sunbae memiliki perasaan sama, kita saling menyukai. Wajar ‘kan kalau Jungkook sunbae mengharapkan kontak fisik yang lebih…ugh, aku tidak bisa membayangkannya! Tidak. Aku belum sanggup kalau sampai Jungkook sunbae meminta

“Yein-a!”

Kini Jungkook menyentuh pundak Yein lembut dan memajukan wajahnya.

‘Tidak. M-masa sekarang, sih?!’ jerit Yein dalam hati seraya memejamkan mata. Belum siap dengan apa yang Jungkook lakukan selanjutnya. Yein masih berusaha mengatur detak jantungnya saat ia merasakan sesuatu menyentuh keningnya.

‘A-apa ini? Apa Jungkook sunbae baru saja mencium keningku?’.

Kontan Yein pun membuka mata, mendapati wajah Jungkook yang berada beberapa senti dari wajahnya karena pemuda itu baru saja menempelkan kedua dahi mereka. Berselang dua detik kemudian Jungkook baru menjauhkan wajahnya.

“Kau tidak panas kok.”

“H-hah?”

“Kalau kau tidak sakit, lalu kenapa kau melamun terus sejak tadi, Yein-a?” Kini Jungkook menatapnya dengan khawatir.

“A-aku memang tidak sakit kok, Sunbae.”

“Oh, ya?” Jungkook menjungkitkan sebelah alisnya dengan lucu. “Tapi kenapa kau diam saja padahal aku sudah bertanya sejak tadi?”

“O-oh? Benarkah? Maaf, tadi aku kurang fokus. Memangnya Sunbae tanya apa?”

Jungkook menghela napas sejenak dan melepas pegangannya di pundak Yein. “Aku bertanya itu monopoli siapa?” ujarnya kemudian seraya menunjuk pada permainan papan yang tergeletak di dalam lemari kaca ruang tamu.

“Oh? Ah, itu milikku dan Chanwoo. Kami sering memainkannya dulu.”

“Ayo kita main itu.”

“Eh?”

.

Setengah jam kemudian…

.

“Jeong Yein bangkrut!”

Mwoyaaaaaa?!”

Berbanding terbalik dengan Yein yang terlihat frustasi, Jungkook justru tersenyum lebar karena telah menang lima kali berturut-turut.

“Sampai kapan Sunbae mau memukulku terus?” protes Yein begitu Jungkook sudah berancang-ancang untuk menghukumnya.

“Siapa suruh kau kalah terus?”

“Jidatku sudah merah, tahu!”

“Hukuman tetap hukuman. Cepat naikkan ponimu, nona Jung.” Jungkook memberikan ‘ha!’ ke tautan ibu jari dan jari telunjuknya untuk yang terakhir kali.

Yein memberenggut kesal, namun tidak punya pilihan lain selain mengangkat poninya. Seperti sebelum-sebelumnya, gadis itu juga turut memejamkan mata. Menunggu giliran sentilan Jungkook mendarat di kulit mulus dahinya. Jungkook pun bergerak maju, duduk lebih dekat dengan Yein agar mudah meraih keningnya. Namun alih-alih memosisikan tangannya di depan kepala Yein, atensi Jungkook malah tersedot pada bibir tipis Yein. Ditambah posisinya yang tengah menutup mata rapat-rapat saat ini, Jungkook sungguh tergoda untuk menciumnya.

Maka sepersekian sekon berikutnya Jungkook sudah lupa dengan hukuman Yein dan mulai memajukan wajah, hendak mencium Yein.

Ting…tong…

Padahal kedua belah bibir ranum Yein sebentar lagi akan terperangkap di bibir Jungkook saat suara bel justru terdengar. Buat Yein kontan membuka mata, dan Jungkook buru-buru menjauhkan tubuhnya.

Yein lekas bangkit dari karpet dan mengamati intercom. Seketika wajahnya berubah pucat saat mendapati siapa yang sekarang berada di depan pintu rumahnya.

“Chanwoo sudah pulang!” pekiknya. Buat Jungkook mau-tidak mau juga ikut panik. “Bagaimana ini, Sunbae?” Yein mulai mondar-mandir dengan frustasi.

“Sembunyi, kau harus sembunyi. Ayo ke kamarku.” Segera Yein menyambar tangan Jungkook dan menariknya menaiki tangga menuju kamarnya.

“Apa tidak apa aku bersembunyi di sini, Yein-a?”

“Benar juga, Chanwoo pasti akan langsung ke kamar untuk ganti baju dan kamarnya itu ‘kan tepat di sebelahku! Aish, lalu bagaimana sekarang?”

Ting…tong…ting…tong…

 

Chanwoo mulai membunyikan bel dengan membabi buta. Beruntung Yein sempat mengunci pintu atau kalau tidak Chanwoo akan langsung masuk ke rumah dan memergokinya sedang berduaan dengan Jungkook di dalam kamar.

“Tunggu sebentar,” titah Yein pada Jungkook sebelum kemudian berjalan keluar kamar dan melongok dari lantai dua ke pintu utama. Sementara Yein memastikan Chanwoo tidak bisa masuk sendiri ke rumah, Jungkook berinisiatif untuk keluar lewat jendela besar di kamar Yein. Kendati posisi kamar Yein berada di lantai dua dan Jungkook sedang terdesak, ia tidak gila untuk berpikir ia akan lompat dari sana. Beruntungnya rumah Yein memiliki model minimalis dengan dinding luar yang diberi aksen kotak-kotak panjang. Jungkook pikir setidaknya hal itu bisa digunakan sebagai pijakannya turun selamat sampai di bawah.

Yein kembali ke kamar dan kaget melihat sebagian tubuh Jungkook sudah berada di luar jendela, berpijak pada kotak pertama.

Sunbae?!”

Jungkook malah tersenyum. “Tenang saja, Yein-a. Besok senin pacarmu ini masih hidup kok.” Ia masih sempat bergurau. Jungkook menyisir surai kecokelatan Yein lembut.

“Maaf aku belum sempat mengatakan ini tadi. Kau cantik jika rambutmu digerai.”

“H-hah?”

“Aku pulang dulu, Yein-a,” pamit Jungkook lantas masih sempat-sempatnya mengecup bibir Yein singkat.

“Aish, Sunbae!” pekik Yein sambil menyembulkan kepala keluar jendela.

 “JUNG YEIN! KAU INI TIDUR APA MATI?!!” Tapi ia malah jadi bisa mendengar teriakan brutal Chanwoo.

“Astaga! Aku lupa dengan Chanwoo. IYAAAA, IYAAA AKU SEDANG TURUN KE BAWAH!!”

Sementara itu di luar, Jungkook yang baru saja menjejakkan kaki dengan selamat di taman samping rumah Yein kemudian mengendap-endap keluar dari pagar kediaman Bae. Chanwoo sudah masuk ke dalam rumah dan Jungkook sukses melewati pagar. Usahanya untuk kabur dari rumah Yein tanpa jejak berjalan dengan mulus…

“Lho, Jungkook sunbae?”

…kalau saja ia tidak sengaja berpapasan dengan Shannon. Oh, Jungkook sama sekali tidak mengira gadis blasteran itu akan ikut pulang ke rumah Yein setelah pergi bersama Chanwoo.

“Oh, hai Shannon! Wah ternyata rumahmu di sini, ya?” Jungkook berusaha bersikap wajar agar gadis Williams itu tidak menaruh curiga.

Aniyo, ini rumahnya Yein.”

“Oh, ternyata rumahnya Yein di sini, ya?”

“Sunbae, sedang apa?”

“A-aku?! Aku hanya jalan-jalan sore saja. Um, kalau begitu aku duluan, ya, Shannon!”

TBC

.

tyavi’s litte note : Sorry for the long wait, dear T^T

1 komentar pada “KisSin (Chapter 5)”

Tinggalkan komentar