Accidentally Family (Chapter 6)

AFfam

Accidentally Family

|LEORENE|

VIXX Leo aka Jung Taekwoon and Red Velvet Irene aka Bae Joohyun

Romance, Mariage life, Family, Life | Chaptered | PG-13

Disclaimer : Poster dan storyline murni milik Author (Jung Taekwoon juga milik Author hehe).

Don’t like the cast? Just read the story ^^

Previous :

 Prolog | 1 | 2 | 3 | 4 | 5

Summary :

“Taekwoon, ada yang ingin aku bicarakan.”

.

.

.

Chapter 6

Café berukuran sedang yang terletak di tepi Gangnam street tampak ramai sore ini.

Nuansa kayu yang mendominasi interior café menyapa netra Taekwoon sedetik setelah pemuda itu membuka pintu. Seorang pegawai lelaki yang menjaga kasir hampir saja menyambutnya dengan sapaan khas—hasil dilatih sebelum mulai bekerja—sebelum akhirnya mengenali Taekwoon sebagai salah satu pegawai di sana. Ya, café ini tak lain adalah café di mana Taekwoon bekerja sebagai barista.

Mengedarkan pandangan menyapu seluruh ruangan. Sedikit kesulitan karena banyaknya pengunjung, manik Taekwoon berlabuh pada beberapa pria yang duduk di dekat jendela, sebelah barat dari kasir. Dibalasnya senyum pemuda penjaga kasir dengan ramah, lantas memintal langkah diikuti Hyuk yang juga dating bersamanya.

“Oh, itu Taekwoon hyung!”

Terhitung tiga langkah lagi Taekwoon sampai di destinasi saat seorang pemuda berhidung bangir sudah lebih dulu menyadari presensinya. Serta-merta membuat dua orang pria yang juga mengelilingi meja, berbalik menghadap ke arahnya—menyambut Taekwoon.

“Apa kabar, Hyung?” Lelaki berkemeja putih yang tadi membelakangi Taekwoon, bangkit dan memeluk Taekwoon singkat.

“Aku baik. Bagaimana kabarmu, Wonshik?” Taekwoon bertanya balik seraya mendudukkan diri di bangku sebelah lelaki yang dipanggilnya Wonshik itu.

“Aku juga baik, Hyung. Sudah lama sekali aku tidak melihatmu.”

“Iya, Hyung. Kau juga tidak ada di café,” imbuh si pria bangir bernama lengkap Lee Jaehwan. “Apa terjadi sesuatu, Hyung?”

“Taekwoon-a, ada apa dengan tanganmu?” Hakyeon yang sedari tadi memerhatikan, bertanya dengan telunjuk menunjuk pada tangan Taekwoon yang dibalut perban. Sontak mencuri atensi Wonshik dan juga Jaehwan. Taekwoon tersenyum tipis.

“Aku terkena air panas.”

“Benarkah?”

“Hati-hati, Hyung.”

Sahut Jaehwan dan Wonshik bersamaan.

Alih-alih merasa khawatir seperti teman-temannya, Hakyeon malah menanggapi santai. “Yah, tidak heran mengingat sekarang Taekwoon adalah ayah rumah tangga yang baik.”

“Bukan begitu, Hakyeon. Ini karena aku—”

“AYAH?!”

Berbanding terbalik dengan Hakyeon dan Hyuk, Jaehwan serta Wonshik tampak terkejut mendengar perkataan Hakyeon barusan. Mereka belum tahu Taekwoon sudah menikah, omong-omong. Baru dua dari empat orang itu yang mengetahuinya; Hakyeon yang diberitahu sendiri oleh Taekwoon, dan Hyuk yang baru menyambangi rumah Taekwoon lalu bertemu langsung dengan anak dan istri Taekwoon.

“Aku lupa kalau kalian belum tahu,” Hakyeon menanggapi alih-alih Taekwoon. Merangkul Taekwoon yang berada di sebelah kanannya, pria Cha itu melanjutkan. “Jung Taekwoon, 25 tahun, sudah menikah, dan istrinya sangat cantik.” Hakyeon mengangkat jempol sebagai pelengkap deskripsi terakhirnya.

“Kau sudah menikah, Hyung?!” tanya Ravi tidak percaya.

“Sudah punya bayi juga, kok. Laki-laki, umur tiga bulan, dan sangat lucu,” Sanghyuk menjelaskan seraya mengimitasi Hakyeon.

“B-bayi?!” kali ini Jaehwan yang bertanya, terlampau tidak percaya.

Bagaimana tidak? Melihat Taekwoon bergaul apalagi menyentuh perempuan saja jarang, tapi sekarang malah sudah beristri dan memiliki bayi pula. Hebat benar Taekwoon bisa menyembunyikan itu semua.

Kalau bukan hujaman tatapan menuntut jawaban yang diarahkan Wonshik dan Jaehwan, mungkin Taekwoon sudah menendang Hakyeon keluar dari café ini. Rasanya ia ingin menyumpal mulut besarnya itu dengan secangkir espresso panas agar tidak terlalu banyak bicara. Bukannya Taekwoon bermaksud merahasiakan pernikahannya dari sahabat-sahabatnya, tapi belum sempat ia menjelaskan, Hyuk dan Hakyeon sudah lebih dulu mengatakannya. Sekarang bagaimana Taekwoon harus menerangkannya?

Dihelannya napas perlahan. “Iya, aku sudah menikah. Beberapa minggu yang lalu.”

“Kau tega sekal, Hyung.”

“Kenapa tidak mengundang kami?” ujar Jaehwan dan Wonshik memelas.

Taekwoon menyesap sejenak latte-nya yang baru saja Sanghyuk letakkan di hadapan. “Pernikahannya mendadak.”

“MBA (married by accident)?” celetuk Ken.

Taekwoon hampir tersedak. “B-bukan.”

“Lalu?” Kini Wonshik, Jaehwan, Hakyeon dan Sanghyuk merapatkan posisi pada Taekwoon. Menunggu pria bermarga Jung itu menjelaskan dengan sejelas-jelasnya perihal pernikahannya yang memang tergolong tiba-tiba.

“Pernikahannya mendadak dan pestanya hanya digelar sederhana—hanya mengundang keluarga. Aku melamarnya pada hari Sabtu dan kami menikah seminggu kemudian.”

“Kenapa cepat sekali pernikahannya?” Tanya Jaehwan.

“Wah, pantas saja aku tidak tahu kau punya calon istri, Hyung,” imbuh Wonshik.

“Aku juga tidak merasa familiar dengan wajah istrimu. Aku ‘kan tahu semua mantan pacarmu, Taekwoon-a.”

“Hakyeon hyung sudah bertemu istri Taekwoon hyung?”

“Iya, Wonshik-a.”

“Aku juga.”

“Hyuk juga?” Manik Wonshik membola. “Ya, Hyung! Aku juga mau bertemu dengan istrimu,” ia merajuk.

“Tunggu sebentar,” ucapan Jaehwan menengahi perdebatan sudah-atau-belum-bertemu-istri-Taekwoon. Wajah tampan pria bermarga Lee itu tampak berpikir sejena—dengan dahi berkerut tipis. “Hyung baru menikah selama beberapa minggu. Kalau bukan MBA, kenapa sudah memiliki bayi?”

“Wah…wah…obrolan apa yang sudah kulewatkan?”

Suara rendah menginterupsi atensi penghuni meja bernomor sepuluh tersebut. Buat lima lelaki yang duduk melingkar serempak menengadah, mendapati seorang pemuda yang tengah melepas jasnya sambil melempar senyum lebar.

“Hongbin hyung!”

“Lee Hongbin, kenapa baru datang, eoh?” Wonshik merangkul pemuda bernama Hongbin itu persis seperti saat menyambut Taekwoon tadi.

“Maaf, aku baru saja selesai meeting tadi.” Lesung pipi terlihat kentara di kedua pipi Hongbin. Melonggarkan dasi yang dikenakannya, retina Hongbin berpedar pada teman-temannya. Sontak membelalak saat bersirobok dengan Taekwoon.

Eoh! Sore…Hyung.” Urungkan niat memanggil Taekwoon karena hujaman manik elang si pria bermarga Jung.

“Kong!”

Hongbin mengalihkan pandangan pada Jaehwan yang memanggilnya—dengan julukkan—barusan. “Iya, Hyung.”

“Kita sedang membicarakan soal pernikahan Taekwoon hyung.”

“Pernikahan?”

“Iya, Kong. Kau tahu kalau Taekwoon hyung sudah menikah?”

Rasa kopi yang pekat di indera pengecap Hongbin didapat dari espresso milik Jaehwan yang ia sesap. Hongbin belum sempat membeli kopinya sendiri sesaat ia sampai dan langsung disuguhkan pertanyaan seperti ini. Napasnya berubah teratur seiring udara yang ia hirup adalah oksigen dan aroma kopi bercampur.

“Aku tahu.”

.

***

.

Sudah sepuluh menit lamanya dwimanik karamel Irene tak berpindah fokus dari sepasang iris cantik sosok mungil yang bersedekap di dalam dekapan. Kurva yang terjungkit di paras Irene semakin menambah kadar kecantikannya, dan bertambah dua kali lipat saat tawa kecil mengalun dari bibirnya kala tangan mungil Miki memainkan surai cokelatnya yang menjuntai. Bahkan bayi kecil itu mengedipkan kelopak matanya beberapa kali saat ujung rambut Irene menyapu wajahnya. Sungguh lucu.

Tak mau sang buah hati kelilipan, Irene menyibakkan surainya ke belakang telinga. Membuat Miki menautkan kedua tanggannya sendiri karena telah kehilangan mainan. Ah, rasanya Irene tak akan bosan meski selama dua jam hanya memerhatikan tingkah lucu Miki. Bahkan layar datar yang menayangkan acara musik di hadapannya tak mampu mencuri atensi Irene barang seinci.

“Miki-ya,” panggilnya lembut seraya menyentuh hidung Miki dengan telunjuk, buat bayi itu mengerjap beberapa saat.

“Aah.”

Situasi berbalik seratus delapan puluh derajat. Kini sepasang netra Irene yang mengerjap. Menerka kalau-kalau ia ternyata salah dengar. Karena, oh, apa Miki baru saja menjawab panggilannya?

“Jung Miki.”

Kali ini Irene memanggil nama lengkap Miki untuk memastikan. Dan benar saja, sepersekian sekon berikutnya terdengar seruan yang sama disertai manik yang berpusat pada wajah Irene.

“Aah.”

Irene tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Yang jelas, dalam dadanya saat ini seperti terdapat beribu bunga bermekaran dan ratusan kupu-kupu memenuhi abdomennya. Bibirnya tidak tahan untuk tidak memeta sebuah senyuman. Irisnya berulang kali mengobservasi wajah mungil Miki.

Pangeran kecilnya sudah bisa menanggapi!

Ia merasakan suatu perasaan bahagia yang tidak terlukiskan. Apakah ini yang dirasakan seorang ibu saat melihat perkembangan bayinya? Kalau memang benar, Irene terharu dapat merasakannya detik ini. Ia memang bukan ibu biologis Miki tapi Miki dapat diibaratkan jantung Irene sedetik setelah ia melihat wajahnya pertama kali. Miki amat berarti dan Irene tidak masalah meski ia tidak memiliki kontak batin dengan si bayi.

“Miki-ya, Jung Miki bayiku.”

“Ooh.”

Astaga bagaimana kalau Miki sudah lancar bicara nanti? Sudah bisa memanggil Irene dengan sebutan ‘Eomma’. Membayangkannya saja sudah membuat jantung Irene berdentum tidak karuan. Terlampau senang untuk dijelaskan. Mengeratkan rengkuhannya pada Miki, gadis bermarga Bae itu menyandarkan tengkuknya ke sandaran sofa. Benaknya mulai melayang ke masa depan. Mengajari Miki berjalan, makan sendiri, bicara, bermain bersama bahkan berjalan berdampingan dengan tangan mungil Miki menggenggam tangannya. Ah, Irene ingin mengalami semua itu. Menyaksikan sendiri setiap tahap pertumbuhan dan perkembangan yang Miki lewati.

Namun, entah kenapa terselip rasa kecewa di hati Irene mengingat statusnya yang merupakan wanita karir. Hal itu tentu menguras banyak waktu kebersamaanya dengan Miki. Irene berharap ia hanya seorang ibu biasa yang menghabiskan 24 jam waktunya bersama sang buah hati. Tapi rasanya ia tidak bisa mengingat kini ia sudah berkeluarga. Ini adalah konsekuensi karena Irene memilih seorang suami dari kalangan biasa.

.

Drrttt…drrtt…

.

Irene agak tersentak saat ponselnya bergetar. Sontak membuyarkan hal-hal yang berkecamuk di pikirannya. Lekas Irene menegakkan punggung dan mengulurkan tanggan ke atas meja. Kontak bernama ‘Kang Seulgi’ terpampang jelas di layar smartphone-nya.

Yeobseyo.”

Yeobseyo. Ada apa Seulgi-ya?”

“Aku sudah menemukan baby sitter yang kau minta, Sajangnim.”

Baby sitter?”

“Iya, perempuan, berumur dua pul…”

“Ooh.”

Irene refleks menunduk, menatap pada Miki, saat terdengar ocehan kecilnya. Dwimanik jernih itu menatap lurus-lurus pada kepunyaan Irene, membuat Irene terenyuh sesaat. Tahu-tahu, mulut mungil Miki terbuka, kembali menyerukan. “Ooh.” Lalu tertawa senang. Gusi-gusi kemerahannya kentara terlihat dan matanya terpejam membentuk bulan sabit. Sungguh lucu dan mampu membuat Irene tak menaruh acuh pada ucapan Seulgi sampai—

Sajangnim? Kau masih di sana, Sajangnim?

—gadis yang merupakan asistennya itu berseru dari seberang.

“Ah, iya. Aku masih di sini, Seulgi-ya.”

“Jadi bagaimana, Sajangnim? Apa langsung kusuruh ke apartemenmu, atau kau mau bertemu dulu?”

“Seulgi-ya.”

“Iya, Sajangnim?”

“Aku tidak jadi menggunakan baby sitter.”

.

***

.

“Aku ada meeting pagi itu, dan kau tahu apa? Hana pipis di kemejaku,” Hakyeon mengakhiri ceritanya sambil terpingkal bersama Hyuk.

“Sial sekali kau Hyung!” seru Jaehwan.

“Tidak apa, Jaehwan-a. Meski dipipisi, aku mendapat hadiah cium dari Hana, dan ia tertawa sangat cantik pagi itu.” Pria bermarga Cha itu tersenyum sumringah.

“Mungkin Hana bahagia telah mengompoli Appa-nya.

Ya, Kim Wonshik!” Wonshik lekas menunduk saat pria tertua itu bangkit dari kursi dan siap menyerangnya. Entah bagaimana suasana berubah riuh saat mereka membicarakan tentang anak. Namun Taekwoon berhasil bertahan dalam mode pendiamnya sehingga teman-temannya tak mampu mengorek informasi lebih dalam lagi mengenai Miki. Memang, memiliki anak merupakan euforia tersendiri bagi Hakyeon yang baru saja menjadi ayah, Wonshik dengan putra berumur satu tahunnya dan juga Taekwoon sendiri.

“Tunggu…tunggu, Hyung.” Wonshik yang baru dihadiahi satu jitakan, mengacungka telapak tangan untuk menghentikan Hakyeon sambil sebelah tangannya menempelkan ponsel ke telinga. Ada panggilan rupanya.

Yeobseyo, ada apa Jiyeon-a?”

“Tapi aku sedang ada acara.”

M-mwo?!”

Suasana mendadak hening, meninggalkan Wonshik yang sibuk dengan percakapan via teleponnya.

“Iya, aku baru saja akan ke sana.”

“Iya, iya, aku mengerti.”

Ne.”

Wonshik menjauhkan ponselnya setelah barusan mengiyakan dengan nada manis. Menengadah, Wonshik baru menyadari kalau ia menjadi pusat perhatian kawan-kawannya. Alih-alih menjelaskan dengan siapa ia bicara barusan, pemuda bermarga Kim itu mengamit jas hitamnya. Lantas menepuk pundak Hongbin dan Taekwoon bergantian.

“Aku duluan, ya.”

“Mau ke mana, Wonshik-a?” Hakyeon bertanya.

Wonshik meringis kecil—memperlihatkan mimik khawatir. “Aku harus menjemput Jiyong atau Pengacara Park akan membunuhku.” Pemuda jangkung itu bangkit dan berjalan dengan terburu-buru.

“Sampai jumpa,” pamit Wonshik.

“Hati-hati pengacara Kim!” Jaehwan berseru. Kelima lelaki di sana tertawa sepeninggal Wonshik. Lucu akan tingkah salah satu temannya itu. Terlebih, Hakyeon sudah terbahak saat ini.

“Hahahaha, dia akan dibunuh Jiyeon katanya.”

“Rupanya Wonshik hyung lupa menjemput Jiyong,” Sanghyuk mengimbuhi.

“Yah, begitulah kalau sudah menikah apalagi sudah memiliki anak. Hidup repot sampai waktu kumpul-kumpul saja tidak sempat,” penuturan Hakyeon yang lebih pantas disebut curahan hati. “Aku, Wonshik, dan sekarang Taekwoon juga sudah menikah. Tinggal tiga kawan kita yang masih sendiri,” lanjutnya sambil melirik pada Sanghyuk, Hongbin dan Jaehwan.

“Ah, kalau Hyukkie masih terlalu muda.” Netranya beralih pada kawan di sebelah kanannya. “Kau, Lee Hongbin, ke mana pacarmu? Aku tidak pernah melihatmu dekat dengan seorang wanita. Wonshik saja sudah punya satu anak.” Hongbin hanya mampu mengulas senyum tipis menanggapi sindiran Hongbin. Memang benar yang dikatakan Hakyeon. Di saat teman sebayanya itu, Wonshik, sudah memiliki momongan, pacar saja ia tak punya.

“Di kantor sedang sibuk-sibuknya, Hyung. Mana sempat aku berpikir untuk berkencan?”

“Sudahlah, Hakyeon. Menurutku Hongbin juga masih muda, hanya Wonshik saja yang menikah lebih cepat. Kau dan aku juga menikah saat berumur 24 ke atas.” Entah kenapa Taekwoon yang sedari tadi bungkam, kini angkat suara—membela Hongbin. Dan Hakyeon tidak bisa menyanggah lebih lanjut karena yang dikatakan Taekwoon ada benarnya.

“Kalau kau, Lee Jaehwan?”

Jaehwan yang sedang menyesap espresso-nya hampir tersedak. Sekarang giliran dia yang kena introgasi Hakyeon.

“Hei, Dr. Lee, sampai kapan kau mau betah membujang, eoh?”

H-Hyung, kau tahu ‘kan aku juga sibuk…”

“Iya, aku tahu! Aku tahu dokter kanker anak kita begitu sibuk sampai tidak sempat berkencan ‘kan?”

Hyung!”

.

Drrtt…drrttt…

.

Demi Neptunus! Jaehwan sangat bersyukur ponselnya bergetar di saat terdesak begini. Lekas diambilnya benda persegi panjang itu, lantas undur diri untuk mengangkat panggilan.

“Sekali-kali dapatkan telepon dari wanita, jangan dari rumah sakit terus,” Hakyeon mencibir.

“Kali ini wanita, kok.” Jaehwan yang sudah selesai menerima telepon, menyahut.

Sontak saja lelaki berkulit cokelat itu bertanya dengan antusias. “Oh, iya? Siapa?”

“Perawat di bagian anak.”

“Woah, kau dapat rekan kerja, eoh?” Disikutnya lengan Jaehwan dengan tenaga yang tidak bisa dikatakan pelan. “Dia bilang apa? Dia bilang apa?”

“Dia bilang—” Jaehwan mengamit jas biru dongkernya, “—ada operasi tiga puluh menit lagi.” Dua detik selanjutnya Jaehwan melesat pergi sambil berseru memalukan.

“Sampai jumpa, yeorobun!”

“Aish, cepat sana cari pacar, Pinokio!” Hakyeon berseru tak kalah memalukan. Belum cukup Wonshik dan Jaehwan meninggalkan mereka, kini Taekwoon dan Hongbin juga beranjak dari kursi.

Ya! Kalian mau pergi juga?” tanya Hakyeon yang langsung dibalas anggukkan kepala oleh Hongbin.

Geurae, geurae, kalau begitu kita sudahi saja kumpul-kumpul ini.” Hakyeon juga turut mengangkat bokong, membereskan barang-barangnya dengan sedikit merajuk. Sedang Hongbin dan Taekwoon telah bersiap untuk pergi.

“Kalau begitu aku dan Hongbin duluan.”

Setelah berkata demikian, kedua pria jangkung itu berjalan beriringan keluar dari Café. Arah rumah Hakyeon berlawanan dengan apartemen Taekwoon dan Hyuk masih akan tinggal di Café sampai tutup pada pukul delapan malam nanti. Selain menumpang karena destinasi mereka searah, ada beberapa hal pula yang ingin Taekwoon bicaran secara pribadi pada pemuda yang lebih muda tiga tahun darinya itu.

Mengenakan sabuk pengamannya dan memastikan sedan milik si pemuda Lee telah meluncur menjauhi Café, Taekwoon memulai percakapan. “Hongbin.”

Tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan, lelaki yang namanya dipanggil itu mengangguk sekilas dan menyahut. “Iya, Hyung?”

“Apa di kantor begitu sibuk?”

.

***

.

Taekwoon baru saja sampai di apartemennya saat jarum jam telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sejenak pria 25 tahun itu geming di samping rak sepatu karena mendapati ruang tamu, ruang keluarga dan dapur dalam keadaan kosong. Miki dan Joohyun tidak ada di lantai satu. Maka kemungkinan besar istri dan bayinya itu berada di lantai dua, atau mungkin saja sudah tidur di kamar. Tapi mengingat waktu masih belum terlalu larut, kecil kemungkinan kalau mereka sudah tidur—terkecuali Miki.

Langkah kaki Taekwoon berderap menaiki tangga dengan hati-hati, karena siapa tahu kemungkinan kedua—Miki sudah tidur—memang terjadi. Namun sesampainya ia di lantai dua apartemennya, ditemuinya siluet wanita terpantul di gorden berwarna kremnya. Ada seseorang di balkon dan tentu saja itu pasti Joohyun, mengingat satu-satunya penghuni perempuan di rumah ini adalah si gadis Bae.

Maka selanjutnya ia merajut langkah mendekati pintu kaca yang mengarah ke balkon, lantas membukanya perlahan hingga mendapati sosok Joohyun tengah memunggunginya, memandang ke arah langit yang mala mini dipenuhi bintang. Desau angin malam memainkan surai cokelat Joohyun yang digerai bebas, membuat pandangan Taekwoon terkunci seketika. Apalagi saat gadis itu perlahan berbalik sehingga wajah cantiknya yang hanya diterpa cahaya bulan semakin kentara Taekwoon lihat.

“Ah, Taekwoon. Kau sudah pulang.” Joohyun menyelipkan surainya ke belakang telinga seraya berujar kala netranya menangkap sosok Taekwoon di ambang pintu.

Kontan Taekwoon menelan saliva, agak salah tingkah karena baru saja ketahuan menatap Joohyun. “Um, Joohyun, kau sedang—” manik Taekwoon turun ke arah kaki Joohyun, “—apa?”

Taekwoon kira Joohyun sedang menikmati pemandangan di malam hari dari balkon apartemennya, namun ia tak lagi yakin saat mendapati kedua kaki kurus nan mulus gadis itu terendam di dalam bak. Sepersekian sekon kemudian sahutan Joohyun menjawab keheranan Taekwoon.

“Oh, aku sedang mencuci seprai Miki.”

“Mencuci seprai?”

“Iya.” Joohyun merapikan surainya yang kembali diterjang angin malam. “Seprai ini harus dicuci tangan dan dengan cara begini tidak terlalu berat untuk mencucinya,” jelas Joohyun yang lantas membuat Taekwoon manggut-manggut.

“Boleh kubantu?”

Tanpa menunggu persetujuan Joohyun, Taekwoon memintal langkah kea rah Joohyun sembari menggulung lengan panjang kausnya.

“T-tidak usah, Taekwoon. Kau istirahat saja, kau ‘kan baru pulang.”

“Tidak apa, aku belum mengantuk,” imbuh Taekwoon yang kini tengah melipat bagian bawah celana panjangnya dengan sebelah tangan. “Tapi tanganmu ‘kan masih terluka,” Joohyun kembali berujar, merajuk pada sebelah tangan Taekwoon yang terlilit perban.

“Aku hanya akan menggunakan kakiku. Lagipula hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantumu, Joohyun.”

Joohyun tak bisa lagi mengelak saat Taekwoon memasukkan kedua kaki telanjangnya. Sayang, ukuran bak yang digunakan tidak terlalu besar hingga kini jarak Joohyun dan Taekwoon sangat dekat. Bahkan Joohyun dapat mencium samar aroma maskulin yang menguar dari tubuh Taekwoon. Lama mereka mematung di tempat, dilanda kecanggungan sehingga hanya keheningan dan semilir angin malam yang mengisi.

“Aku akan mun—”

“Hati-hati!”

Joohyun baru saja akan mengambil jarak saat kakinya hampir terpeleset, namun Taekwoon dengan tanggap segera menarik kedua tangannya. Sepasang manik keduanya membelalak karena jarak mereka kini terlampau dekat.

“Apa yang kau lakukan?” tegur Taekwoon akhirnya. “Cuciannya licin, berhati-hatilah—aakh!” Joohyun terkejut saat tiba-tiba saja Taekwoon meringis, dan akhirnya ia baru menyadari kalau tangan Taekwoon yang terlilit perban masih memegangi erat tangannya. “Ah, maaf.” Joohyun hendak—lagi-lagi—menjauh saat Taekwoon malah merengkuh pinggangnya mendekat.

“Jangan menjauh. Letakkan, saja, tanganmu, di pundakku,” Taekwoon terbata dengan wajah yang merona. Menurut karena ia tidak mau berlama-lama di dalam posisi direngkuh pinggangnya oleh Taekwoon, Joohyun lekas menyampirkan kedua tangannya di pundak Taekwoon. Sejemang keduanya membisu, hanya terdengar suara kecipak-kecipuk air yang beradu dengan kaki. Sesekali Taekwoon mengibaskan kaus yang dikenakannya, merasa gerah kendati sebelumnya angin malam terasa menusuk. Sedang Joohyun hanya mampu menunduk.

“Apa Miki sudah tidur?” ujar si pemuda Jung akhirnya memecah keheningan. Joohyun yang masih menenggelamkan wajahnya, mengangguk ringan. “ I-iya.”

“Sudah lama?”

“Sejak jam enam.”

“Ia sudah minum susu?”

“Sudah.”

Taekwoon berdeham setelahnya. Mungkin keheningan akan kembali mendominasi jika Joohyun tidak menengadahkan wajahnya dan berucap. “Taekwoon, ada yang ingin aku bicarakan.” Yang lantas dibalas tatapan mata Taekwoon tepat di irisnya, menunggu Joohyun melanjutkan ucapannya.

“Aku ingin mengurus Miki sendiri.”

Taekwoon mengerutkan keningnya dalam-dalam—tidak mengerti.

“Um, maksudku, aku tidak ingin menggunakan baby sitter. Aku ingin mengurus Miki dengan tanganku sendiri. Hari ini aku menyadari perkembangan-perkembangan kecil Miki dan hal itu akan terjadi hanya sekali. Aku ingin menyaksikan sendiri saat Miki bisa bicara, saat Miki mulai merangkak, dan saat Miki bisa memakan makanannya sendiri. Waktu-waktu berharga itu tidak bisa terulang dan aku tidak ingin melewatkannya.” Joohyun menarik napas dalam-dalam setelah menjelaskan semuanya dalam satu tarikan napas.

Taekwoon mengangguk-anggukkan kepalanya paham. “Baiklah, kita tidak memerlukan baby sitter.”

Perkataan Taekwoon kontan membuat sorot mata Joohyun berubah berseri, menghapus kegundahan yang sempat menguar dari sana. “Kau tidak keberatan?”

“Tentu saja tidak. Aku suka mengurus anakku sendiri.” Seulas senyum Taekwoon tambahkan.

“Tapi pekerjaanmu?”

“Ayo kita buat perjanjian.”

.

***

.

Perjanjian mereka adalah membagi waktu untuk menjaga Miki bersama.

Dimulai dari keesokan harinya, pagi-pagi sekali Joohyun sudah memandikan Miki dan mendandaninya rapi. Sedangkan Taekwoon yang baru bangun setengah jam kemudian, bertugas membuat sarapan. Pukul setengah tujuh mereka berkumpul di ruang makan untuk sarapan bersama sebelum kemudian Joohyun bergegas pergi ke kantor pada pukul tujuh. Sesuai perjanjian, ia akan pulang pukul tiga sore, bergantian menjaga Miki karena pada pukul setengah empat Taekwoon akan berangkat ke Café. Ia sudah kembali bekerja sebagai barista. Tiga bulan mereka jalani seperti itu. Mereka juga tak lagi tidur terpisah, sudah terbiasa berbagi kamar karena toh sudah terlalu lelah sehingga cepat terlelap. Terlebih, sekarang Miki tak lagi terbangun di tengah malam.

Jung Miki kini telah berumur enam bulan, dan membutuhkan makanan pendamping susu formula sehingga Taekwoon memutuskan untuk pergi berbelanja bersama Miki hari ini. Banyak sekali yang harus dibelinya. Mulai dari cadangan popok, susu formula, tisu basah, perlengkapan mandi serta beberapa bahan makanan segar. Taekwoon berniat membuat sendiri makanan Miki karena menurutnya hal itu akan lebih sehat dibanding mengandalkan bubur bayi instan.

Kini ia menyusuri rak susu sambil mendorong troli belanja dan juga menggendong Miki di depan menggunakan baby sling. Taekwoon benar-benar bersemangat sehingga ia tidak merasa pegal kendati telah menggendong Miki selama berjam-jam. Padahal berat Miki sekarang sudah mencapai 7,4 kilogram, hampir dua kali lipat dibanding saat ia baru lahir.

“Miki-ya, apa yang harus kita beli?”

“Ooh.”

Taekwoon tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat Miki merespon pertanyaannya. Sekilas ia sentuh pipi tembam dan kemerahan Miki, membuat bayi gembul itu tertawa kecil.

“Wah, tampan sekali.”

“Kerennyaaa.”

“Apakah itu anaknya?”

“Seorang appa muda?”

“Kereeennn.”

Tanpa Taekwoon sadari, ia dan Miki telah menjadi pusat perhatian sebagian pengunjung super market. Terlebih bagi sekumpulan gadis belia dan juga ibu-ibu muda.

Selesai sudah kegiatan belanja Taekwoon hari ini. Saat sedang mendorong troli berisi kantung-kantung belanjaannya menuju pintu keluar, sebuah toko kue menarik perhatian Taekwoon.

“Apa sebaiknya aku membeli kue?”

Lekas dirogohnya ponsel di kantung celana, hendak menanyakan pada Joohyun kapan gadis itu pulang. Namun saat memerhatikan tanggal yang tertulis di lockscreen-nya, Taekwoon teringat sesuatu.

TBC

tyavi‘s little note : Ngebayangin Leo gendong bayi di depan pake baby sling gimana cobaa, huhuu pasti keren banget T^T

SCR_20160216_113752

Mau berterima kasih banget karena keluarganya Eugene masuk Superman Returns. Sumpah! Rasanya tuh kaya dapet ilham buat ngelanjutin Accidentally Family. Terutama pas liat gimana Taeyoung ngurusin Rohui, bener-bener ngingetin tyavi sama Leo dan Miki T^T Mungkin juga ini karena pertama kalinya nonton Superman Returns yang anaknya masih baby udah gitu Appa-nya masih muda jadi langsung ngefeel banget. Oiya mau terima kasih juga sama kak yessy yang jadiin Leorene header IF.

p.s: mau sungkem juga sama mbaNitt T^T

1453853743768.jpg

Chukae VIXX dan RV menang Hot Performance of The Year di GAON!!!

1 komentar pada “Accidentally Family (Chapter 6)”

Tinggalkan komentar